Sunday, January 10, 2010

Pelajaran Tersenyum

Terlepas dari benar tidaknya kisah berikut ini, ada hikmah yang dapat kita petik agar kita lebih memperhatikan lingkungan di sekitar kita. Melatih kita agar meningkatkan kepedulian kita kepada sesama manusia terutama orang-orang yang menderita, para fakir dan miskin yang jumlahnya cukup banyak di negara kita ini.
Semoga bermanfaat.


Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah. Kelas terakhir yang saya ambil adalah sosiologi. Dosen kami adalah seorang yang sangat inspiratif dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhirnya diberi nama "Tersenyum". Seluruh mahasiswa diminta untuk pergi keluar dan tersenyum kepada tiga orang dan mendokumentasikan reaksi mereka.

Saya adalah seorang yang mudah bersahabat, selalu tersenyum pada setiap orang, dan menyapa "hallo". Saya pikir, tugas ini sangatlah mudah. Segera setelah menerima tugas itu, saya bersama suami dan anak bungsu saya pergi ke restoran McDonald's. Waktu itu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering.

Kami berdiri dalam antrian menunggu untuk dilayani. Tiba-tiba semua orang di sekitar kami menyingkir, bahkan suami saya ikut menyingkir. Saya tidak bergerak sama sekali. Suatu perasaan panik menguasai diri saya. Saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir. Ketika itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat. Tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma.

Ketika saya memandang laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri dekat dengan saya, ia "tersenyum". Matanya berwarna biru langit indah seakan berharap untuk dapat diterima. "Good day," katanya sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua berdiri di belakang temannya. Tangan bergerak-gerak aneh. Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita keterbelakangan mental. Sedangkan lelaki bermata biru adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka. Wanita muda di counter menanyai pesanan lelaki itu. Yang lalu dijawabnya, "Kopi saja, nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. Asal tahu saja, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, kita harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan.

Kemudian saya benar-benar merasakan desakan yang sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Tetapi saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya. Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan pada saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah.
Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu di atas meja. Saya menyentuh tangan tangan dingin lelaki bermata biru itu. Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang ia berkata "Terima kasih." Saya menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan." Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk, suami saya tersenyum dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan. Saat itu kami tahu bahwa hanya karena rahmat-Nyalah kami dapat memberikan sesuatu pada orang lain. Hari itu, cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah ditunjukkan pada saya.

--------
Saya kembali ke kampus, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini di tangan. Saya menyerahkan "proyek" itu dan dosen membacanya. Kemudian ia memandang saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk perlahan. Kemudian ia meminta perhatian dari kelas.

Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan.

Dengan caraku sendiri saya telah menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari : "Penerimaan Tanpa Syarat". Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk "Mencintai Sesama Dan Memanfaatkan Benda-Benda - Bukannya Mencintai Benda Dan Memanfaatkan Sesama."

Saturday, January 9, 2010

Membedah Tembang Ilir-Ilir



Karya besar (tembang Ilir-ilir) ini dibuat oleh Sunan Kalijaga, yang terkenal dengan dakwah Islam ala Jawa yang telah dikenal masyarakat pada zamannya hingga sekarang. Sunan Kalijaga ialah anggota Wali Songo (sembilan Waliullah) yang dikenal sebagai sosok bijaksana dan cerdas.Beliau adalah satu-satunya anggota Wali Songo yang asli keturunan Jawa. Oleh karena itu, dalam misi menyebarkan agama Islam, beliau menggunakan cara-cara kejawen yang mudah dimengerti oleh kalangan orang Jawa yang pada waktu itu masih ada pengaruh budaya Hindu. Dakwahnya tidak hanya dikenal di kalangan rakyat jelata, namun kalangan ningrat pun mengetahuinya. Oleh karena itu, beliau dikenal oleh kaum muslim yang fanatik sebagai pemimpin “Islam abangan”. Maksud “abangan” dalam konteks ini ialah (cara dakwah) tidak seperti Islam aslinya di Negeri Arab, khususnya dalam hal budayanya.

Kebijaksanaan dalam hal kebudayaan memang beliau ambil sendiri (diterapkan secara lokal). Bangsa Jawa saat itu memang murni Bangsa Jawa yang berkebudayaan Jawa, tidak perlu diganti dengan kebudayaan Bangsa Arab. Hanya dalam hal kepercayaan saja harus diganti dengan kepercayaan Islam, dengan pengertian yang dalam. Maka (pada waktu itu), seni dan kebudayaan Jawa tidak dihapus oleh Sunan Kalijaga, namun diberi warna Islam, upacara ritual seperti selamatan doanya diganti dengan doa Islam. Wayang kulitpun diubah sedemikian rupa bentuknya, sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Hingga pada perjalanannya, beliau menghasilkan karya besar berbudaya Jawa dengan membuat tembang seperti Ilir-ilir dan Dandang Gula yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah.

Tembang Ilir-ilir ini akan kita kaji lebih dalam dalam pembahasan ini, karena di dalamnya banyak sekali pelajaran-pelajaran yang patut kita teladani. Berikut adalah syair tembang tersebut :

ILIR – ILIR

Lir-ilir, Lir-ilir,
Tandure wus sumilir,
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh penganten anyar.

Cah angon – cah angon,
Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekno,
Kanggo mbasuh dodotiro.

Dodotiro – dodotiro,
Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.

Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Yo suraka, surak hiyo.

Syair tersebut sangat indah jika kita merenungkannya secara mendalam.

Nasihat Dibalik Tembang ILIR – ILIR

Tembang ini mengandung nasihat bagaimana untuk menjadi muslim yang baik. Secara garis besar tembang tersebut berisi:

· Bait pertama menerangkan mulai bangkitnya iman Islam.

· Bait kedua ialah perintah untuk melaksanakan Rukun Islam yang lima.

· Bait ketiga tentang taubat, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan untuk bekal kelak.

· Bait keempat menerangkan tentang adanya kesempatan-kesempatan (yang baik).

Berikut adalah uraian-uraian secara rinci :

Uraian “Lir-ilir Tandure Wis Sumilir”

Kata Lir-ilir berasal dari bahasa Jawa “Ngelilir” yang bahasa Indonesianya ialah terjaga/bangun dari tidur. Maksudnya ialah, orang yang belum masuk (agama Islam) dikatakan masih tidur / belum sadar. Pada tembang di atas, kata “Lir-ilir, Lir-ilir” (diulang sebanyak dua kali), maksudnya ialah “bangun-bangun”, bangun ke alam pemikiran yang baru, yaitu Islam.

Sedangkan baris “tandure wis sumilir”, terdiri dari :

  • “tandure” berarti “benih” yang ditanam.

  • “wis sumilir” berarti sudah tumbuh.


Jadi, baris “tandure wis sumilir” sama dengan benih yang ditanam sudah mulai tumbuh. Benih di sini berarti iman, yaitu iman Islam. Pada dasarnya semua manusia yang terlahir di muka bumi ini telah dianugerahi benih berupa iman oleh Allah swt. Disadari atau tidak bergantung pada orang-orang yang bersangkutan. Jika orang yang bersangkutan tersebut “sadar” akan adanya benih itu dalam dirinya dan mau merawat dengan baik setiap harinya, maka benih itu akan tumbuh subur, tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula. Perawatan benih iman itu dapat berupa :

  • Membaca Al Quran atau bacaan-bacaan Islam lainnya.

  • Menghadiri pengajian.

  • Mendengarkan khutbah mimbar agama Islam

  • Menjalin hubungan baik / silaturrahmi dengan sesama.


Masih banyak lagi pupuk-pupuk (makanan rohaniah) lainnya, yang tentunya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.

Uraian “Tak Ijo Royo-Royo, Tak Sengguh Pengantin Anyar”

“Tak ijo royo-royo” – Dibuat tumbuh subur, daunnya hijau nan segar. Maksud kalimat tersebut nampaknya menekankan “penampilan” tentang pribadi muslim yang menyenangkan. Adanya benih iman yang selalu dirawat yang menjadikan pribadi muslim sehat jasmani dan rohani. “Ijo-royo-royo” merupakan lambang tanaman yang subur karena dirawat dengan baik.

“Tak sengguh penganten anyar” – pengantin baru. Pengantin ialah pasangan mempelai. Analogi ini disangkutkan dengan manusia atas keyakinan imannya, yang baru bertemu menjadi pengantin. Pasangan / pengantin baru ialah orang yang sangat berbahagia hidupnya. Begitu pula dengan “tak sengguh penganten anyar,” orang yang telah bersanding dengan keyakinan iman Islam.

Jadi, maksud dari “Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar” berarti benih iman seseorang yang dirawat dengan baik akan menghasilkan seorang muslim yang baik pula. Kebahagiaan seorang muslim di sini ibarat pengantin baru.

Iman yang kokoh yang digambarkan dengan “tak ijo royo-royo” tadi, haruslah selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Tumbuhan bisa tidak “tak ijo royo-royo” lagi bila terkena hama. Analogi ini bisa kita kaitkan dengan iman seorang muslim.

Penjagaan iman supaya tetap kokoh haruslah mampu menghalau hama-hamanya (contoh : tindakan kemungkaran). Berjudi, mencuri, zina, minum minuman keras, dan sejenisnya merupakan hama iman yang harus segera dibasmi.

Uraian “Cah Angon – Cah Angon, Penekno Blimbing Kuwi”

“Cah angon” berarti anak gembala. Kata-kata tersebut diulang bahkan dua kali, yang berarti di sini terdapat penekanan, adanya perintah yang penting. Perintahnya yaitu : “penekno blimbing kuwi” (panjatlah belimbing itu). Perintah ini diberikan kepada bawahan / kedudukan yang lebih rendah dari atasan / kedudukan yang lebih tinggi. Analogi ini sepintas berkesan “orang tua yang memerintah anaknya.”

Mengapa yang harus diperintah ialah “cah angon?” Ada gembala, pasti ada yang digembalakannya. Arti cah angon (bukan hanya anak semata) ialah manusia. Manusia yang sebagai gembala menggembalakan nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu-nafsu yang dimiliki setiap orang ini, kalau tidak digembalakan, bisa merusak dan tentunya banyak melanggar perintah / aturan agama. Pribadi manusia haruslah bisa berperan sebagai gembala yang baik. Intinya, “cah angon” merupakan sebutan yang diperuntukkan untuk seorang muslim yang menjadi gembala atas nafsu-nafsunya sendiri.

“Penekno blimbing kuwi.” Ini bukan berarti harus memanjat buah belimbingnya, namun “panjatlah pohon belimbing itu.” Perintah yang harus dipanjat ialah pohon belimbingnya (untuk meraih buahnya). Timbul pertanyaan, mengapa harus belimbing yang dijadikan contoh di sini, kok tidak durian atau strawberi? Kita tahu bahwa belimbing mempunyai 5 sisi. Nah gambaran ini sebenarnya merujuk kepada rukun Islam yang lima, yaitu :

  • (Dua kalimat) syahadat

  • Mendirikan sholat

  • Membayar zakat

  • Berpuasa Ramadhan

  • Menunaikan ibadah haji


Uraian “Lunyu – Lunyu yo Penekno kanggo Mbasuh Dodotiro”

Bahasa Indonesia dari “Lunyu-lunyu yo penekno” ialah “Meskipun licin, tetap panjatlah” (baris ini berhubungan dengan baris sebelumnya “Cah angon-cah angon, peneken blimbing kuwi”). Licin merupakan sebuah penghambat bagi si pemanjat. Haruslah memanjat dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Jika tidak, maka akan tergelincir jatuh.

Sama halnya dengan perintah agama. Jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin bila tergelincir ke neraka. Analogi secara kasat mata, jalan turun memang lebih mudah daripada jalan naik, jalan menuju neraka lebih mudah daripada jalan menuju ke surga. Bukankan minum minuman keras, judi, berzina, berdusta, memfitnah lebih mudah daripada mencegah kemungkaran, mengerjakan sholat dan berpuasa? Namun, bagi “cah angon” yang taat, perintah Allah untuk memanjat “blimbing” tadi bukanlah beban dan bukan sesuatu yang berat baginya (untuk meraih buah yang lezat, yaitu surga).

“Kanggo mbasuh dodotiro” mempunyai maksud : berguna untuk membersihkan atau mensucikan kepercayaan kita, hingga benar-benar menjadi kepercayaan yang suci. Dodot ialah pakaian kebesaran di lingkungan kraton. Dodot = pakaian. Analogi ini diibaratkan sebagai “kepercayaan.” Pada zaman “WaliSongo” dulu, banyak orang yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan Animisme. Hal-hal seperti itu dicuci dengan “iman Islam” oleh WaliSongo, hingga jadilah agama yang bersih dan benar yaitu agama Islam. Salah satu pembersihnya yaitu rukun Islam yang lima.

Uraian “Dodotiro – Dodotiro Kumitir Bedah ing Pinggir, Dondomana Jlumatana, Kanggo Seba Mengko Sore”

Keterangan sebelumnya menerangkan bahwa “dodot” untuk menggambarkan agama atau kepercayaan yang dianut. “Kumitir bedah ing pinggir” artinya : banyak robekan-robekan di bagian tepi.

Berikutnya terdapat perintah “dondomana jlumatana” – dijahit/diperbaiki. Pakaian yang rusak tadi hendaklah diperbaiki agar pantas dipakai lagi. Demikian halnya dengan kepercayaan kita. Bila rusak (karena dosa-dosa yang telah dilakukan), hendaknya diperbaiki dengan jalan memohon ampun kepada Allah (taubat) dan melakukan rukun Islam sebaik-baiknya. “Kanggo seba” mengandung arti : “datang, menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu Allah.” Sedangkan “sore” mengandung maksud “akhir dari perjalanan.” Akhir dari perjalanan manusia.

Jadi, maksud dari “Kanggo seba mengko sore” yaitu : “untuk menghadap Allah nanti bila perjalanan hidup sudah berakhir.” Hikmahnya yaitu bagaima kita melaksanakan perintah dalam mengamalkan rukun Islam dengan baik sebagai bekal untuk menghadap Allah kelak ketika hidup sudah berakhir.

Uraian “Mumpung Padang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane”

Terjemahan Bahasa Indonesia-nya ialah : “selagi terang sinar bulannya, selagi luas tempatnya.” terang bulan yang jelas saat malam hari.

Tanpa cahaya bulan pada malam hari (tanpa penerang apapun) akan gelap gulita, tidak dapat melihat apa-apa. Maksudnya, disaat “gelap” orang akan sulit (bahkan tidak mampu) membedakan yang haq dan batil (mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah/haram). Namun, pada suasana gelap itu sesungguhnya terdapat “sinar penerangan” dari cahaya bulan (Sinar Islam), sehingga bisa nampak jelas mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil. “Mumpung jembar kalangane” – Luas cakupan sinar bulan, mampu menerangi daerah yang luas.

Jadi, maksud dari “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” adalah mumpung masih ada kesempatan bertaubat untuk meraih surga (menek blimbing) itu / untuk melaksanakan perintah agama, yaitu rukun Islam yang lima tadi. Hal ini dikarenakan dengan adanya Sinar Islam itu, kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesempatan yang baik dan luas itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Semua itu merupakan ajakan untuk seluruh umat manusia agar melaksanakan kelima rukun Islam dengan baik dan benar.

Uraian “Yo Surako, Surak Hiyo”

Baris di atas (mari bersorak-mari bersorak) ialah ajakan untuk bersorak. Sorak merupakan ekspresi kebahagiaan dan kesenangan bagi yang bersangkutan. Mengapa harus berbahagia? Tak lain ialah karena ia sudah berhasil melaksanakan perintah “Peneken blimbing kuwi, lunyu-lunyu ya peneken.” Bahagia atau senang ini diperoleh sebagai hadiah dari pekerjaannya “memanjat belimbing itu” (surga).

Inti dari baris tersebut ialah, mengajak “Si Cah Angon” (seorang muslim) yang telah melaksanakan perintah “peneken blimbing kuwi” dengan baik, untuk berbahagia karena akan memperoleh pahala yang berupa surga.

Demikian uraian ini semoga bermanfaat bagi kita semua.

Gusti Allah Ora Sare

Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini.Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan "acara" kehujanan. Setengah berlari saya mencari tempat berlindung.

Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana. Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala. Dia menyilahkan saya duduk. "Disini saja dik, daripada kehujanan," begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh. Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, "tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja."

Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk. Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk diracik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar. Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, "Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?" Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, "Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.
"Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?" kata saya, "Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?" Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih.

Namun, agaknya saya keliru. "Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat)", begitu katanya. "Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya." Bapak itu melanjutkan, "Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan."

Deg. Duh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, "Gusti Allah ora sare". Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya.

Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Maknanya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.

Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok.

Hmm...saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak dibenak saya. "Ya Allah, Engkau Memang Tak Pernah Beristirahat" Untunglah,hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan.

Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare..... Gusti Allah Ora Sare.....

Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara yang tak terduga. Selalu saja, Dia memberikan Cinta kepada saya lewat hal-hal yang sederhana. Dan hal-hal itu, kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar.

Dulu, saya berharap, bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengan sesuatu yang istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus ada hal besar yang saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yang menakjubkan saya lakukan.

Namun, rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doa saya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmah kehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan saya yang terbaik. Saya tetap belajar, dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.

Aku berdoa agar diberikan kekuatan..., Namun, Allah memberikanku cobaan agar aku kuat menghadapinya.

Aku berdoa agar diberikan kebijaksanaan..., Namun, Allah memberikanku masalah agar aku mampu memecahkannya.

Aku berdoa agar diberikan kecerdasan..., Namun, Allah memberikanku otak dan pikiran agar aku dapat belajar dari-Nya.

Aku berdoa agar diberikan keberanian..., Namun, Allah memberikanku persoalan agar aku mampu menghadapinya.

Aku berdoa agar diberikan cinta dan kasih sayang..., Namun, Allah memberikanku orang-orang yang luka hatinya agar aku dapat berbagi dengannya.

Aku berdoa agar diberikan kebahagiaan... Namun, Allah memberikanku pintu kesempatan agar aku dapat memanfaatkannya.