Thursday, April 20, 2017

Jejak Keislaman RA Kartini


Bacaan menjelang hari Kartini 21 April 2017

Salin saji, sepenggal catatan menyongsong
Hari Kartini,

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?"

"Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca".

"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya".

"Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya".

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya".

Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat dan menuliskan kisah tsb sbb:

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kyai Sholeh meninggal dunia.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban".

"Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan".

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disun dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.

RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya adalah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu agar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena permintaan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim.

Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).

Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya.

Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kiai Soleh Darat.

Dalam surat-suratnya kepada sahabat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke tempat yang terang benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).
"Selamat Hari Kartini"

Wednesday, April 12, 2017

Rasyid

“Goblok kamu ya…” Kata Suamiku sambil melemparkan buku lapor sekolah Risyad. Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Risyad dengan keras. Risyad meringis.

Tak berapa lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Risyad berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu diarahkan ke kaki, kemudian ke punggung dan terus , terus. Risyad menangis “ Ampun, ayah ..ampun ayah..” Katanya dengan suara terisak- isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Risyad ku tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.

“Lihat adik- adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol Mau jadi apa kamu nanti ?. Mau jadi beban adik- adik kamu ya…he “ Kata suamiku dengan suara terengah engah kelelahan memukuli Risyad. Suamiku terduduk dikursi. Matanya kosong memandang kearah Risyad dan kemudian melirik kearah ku “ Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat rapor sekolahnya buruk. Dengar itu. “ Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.

Kupeluk Risyad. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi di maki - maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Risyad dengan erat “ Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok yang rajin ya belajarnya”

“ Risyad udah belajar sungguh sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Risyad memang engga pintar seperti uga dan citra. Kenapa ya Bunda” Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis “ Risyad, pintar kok. Risyadkan anak ayah. Ayah Risyad pintar tentu Risyad juga pintar. “

“ Risyad bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk “ Risyad telah mengecewakan Ayah, ya bunda “

Malamnya , adiknya Uga yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat Risyad mengigau terus. Aku dan suamiku berhamburan kekamar Risyad. Kurasakan badannya panas.Kupeluk Risyad  dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga. Risyad tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Risyad membalas pelukanku. ‘ Bunda, temani Risyad tidur ya." Katanya sayup - sayup. Suamiku hanya menghela nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.

Risyad adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sedang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Risyad. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh dengan sempurna. Kemudian , ketika Risyad lahir kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Risyad pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Uga lahir., juga laki laki dan dua tahun setelah itu, Citra lahir, adik perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Risyad mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar- pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik.

Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi terhadap anak -anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas. “ Masalah Risyad bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali- kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas. “ Aku ini dari keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal gizi. Tapi nyatanya aku berhasil. “ Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.

Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Risyad kepesantren. Aku tersentak.

“ Apa alasan Mas mengirim Risyad ke Pondok Pesantren “

“ Biar dia bisa dididik dengan benar”

“ Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu”

“ Ini sudah keputusanku, Titik.

“ tapi kenapa , Mas” AKu berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.

Suamiku hanya diam. Aku tahu alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Risyad. Suamiku ingin memisahkan Risyad dari adik- adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku Risyad akan tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak berdebat.

Ketika Risyad mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia nampak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.

Dia peluk aku “ Risyad engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.

Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki. Tidak boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketiak ibumu. Ngerti. Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren. “

Setelah Risyad berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Risyad.

Tak terasa Risyad kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU. CITRA kelas 1 SMU dan Uga kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Risyad pulang kerumah, Risyad lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berdzikir sampai sholat subuh.

Ku purhatikan tahun demi tahun perubahan Risyad setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik- adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik- adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.

Setamat Madrasa Aliyah, Risyad kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas. “ Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya. “ Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Risyad setelah lulus dari pondok. Risyadpun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.

Selama setahun setelah Risyad tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Risyad tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Risyad karena dia bergaul dengan orang kebanyakan. Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Risyad. Tapi Risyad tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.

Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi mencurigai Risyad dan teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah itu. Risyad sujud dikaki ku sambil berkata “ Risyad tidak mencuri , Bunda. Tidak, Bunda percayakan dengan Risyad. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Risyad dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Risyad. Alhamdulilah Risyad dan teman- temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni komplek oleh ulah Risyad dan kawan -kawan yang selalu berdzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.

Tapi akibat kejadian itu , suamiku mengusir Risyad dari rumah. Risyad tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia rangkul aku” Bunda , Maafkanku. Risyad belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah. Maafkan Risyad“ Pesannya. Diapun memandang adiknya satu- satu. Dia peluk mereka satu persatu “ Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .” demikian pesan Risyad Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Risyad dari rumah.

“ Mas,  Dimana Risyad akan tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Risyad.

“ Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.

***
Tak terasa sudah enam tahun Risyad pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Risyad berpindah -pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri. Bila membayangkan masa kanak -kanaknya kadang aku menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Citra kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Uga pun sama. Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari surat Risyad, aku tahu dia baik baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada kami, “ Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam. “

***
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan. Selama proses itupula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensi. Dan puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara. Media massa memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping - keping. Harta yang dikumpul, sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Citra malas untuk terus kuliah karena malu dengan teman- temannya. Uga juga sama yang tak ingin terus kuliah.

Kini suamiku dipenjara dan anak- anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami. Pada saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah.

Ridyadku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku. “ Maafkan aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah. “ katanya. Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Citra dan Uga juga segera memeluk Risyad. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama sama.

Kehadiran Risyad dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya selama bekerja diluar negeri, Risyad membuka usaha percetakan dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi ini selalu di cemoohkan oleh ayahnya. Risyad mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi kami. Tak lebih setahun setelah itu, Citra kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan sholat dan juga Uga. Setiap maghrib dan subuh Risyad menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjamaah Risyad tak lupa duduk bersila dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus , beda sekali dengan gaya ayahnya

“... Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah... Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah. “

“ Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih. “

Seusai Risyad berbicara , aku selalu menangis. Risyad yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubat. Ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Dzikir dan linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram.

Mahasuci Allah , terimakasih ...
Saat suamiku keluar dr hotel prodeo Risyad yg menjemput nya di depan pintu didampingi oleh kedua adiknya... aku melihat dari kejauhan...  Risyad langsung salim cium tangan ayahnya kemudian mereka berdua berpelukan erat...  Suamiku memandang cukup lama ke arah muka Risyad...  pasti kangen suamiku dengan anak sulung nya .... tidak terasa air mataku mengalir melihat momentum yg indah itu...  sejak kecil Risyad selalu merindukan pelukan ayahnya namun tidak pernah dia dapatkan....  hanya adik² nya yg sering di peluk ayahnya karena prestasi sekolahnya lebih baik..  beda dengan Risyad justru pukulan yg dia terima....

Akhir al kisah....banyak orang yang bergelar doctor,banyak orang yang berlimpah harta,banyak orang yang berpangkat tinggi NAMUN terasa berat untuk melangkahkan kakinya ke Masjid dan Mengaji ...semoga kisah ini menjadikan kita untuk membuka mata batin kita bersama untuk mempersiapkan segalanya.